Manohara, Prita dan Ambalat adalah tiga topik berita yang paling hangat dibicarakan pekan ini. Saat ini, siapa yang tidak mengenal Mano? Model cantik semampai yang kendati menikah dengan seorang pangeran toh hidupnya tak seindah kisah Cinderella. Mulai dari ibu rumah tangga, karyawan, sampai kanak-kanak pun familiar dengan wajah cantik dan kisahnya yang mengharu biru. Media massa dalam hal ini televisi menjadikannya rajin wira-wiri menyambangi layar kaca kita. Tak tanggung-tanggung, semua stasiun televisi memiliki jadwal wawancara langsung dengannya. Semua aspek hidupnya ‘dikorek’ untuk kemudian dipaparkan kepada pemirsa. Bahkan sebuah stasiun televisi berinovasi dengan Twitter sehingga pemirsa bisa menanyakan secara langsung hal-hal kecil mengenai Mano. Walhasil muncul pertanyaan “is that Christian Louboutin?” ..dan..”Berapa buah koleksi Tas Hermes milik Mano?” Ckckck….. luar biasa kan, pemirsa televisi kita?! Begitu jeli dan sangat sadar merek (baca: hedonis). Itulah gambaran masyarakat Indonesia yang tidak hanya plural dalam ragam budaya tapi juga strata ekonomi. Namun keberbedaan dan dan keberagaman itu berhasil digiring televisi pada satu titik sikap, simpati bagi Manohara. Inilah kekuatan Media massa (baca: televisi) yang pertama, kemampuan mempermainkan rasa dari pemirsanya.

Belum lagi reda Kisah Manohara, muncul satu nama baru yang juga mengharu biru. Prita. Ibu muda yang dipenjara karena mengeluhkan pelayanan sebuah institusi melalui email di sebuah mailist. Media massa mengeksposnya. Tak ayal, dukungan dan simpati mengalir deras bagi pembebasannya. Termasuk para capres dan cawapres . Bahkan dengan sigap salah seorang capres berkomentar bahwa Prita adalah korban neolib (halah!). Apa sebabnya institusi yang dimaksud oleh Prita begitu kelabakan dengan email Prita? Itu karena media yang dipilih Prita dalam hal ini email, memiliki kemampuan publikasi yang cepat dan relatif mudah diteruskan. Mudah untuk dikaburkan keakuratannya karena bisa diedit oleh siapa saja yang mendapatkan email tersebut . Dan ketika itu terjadi, sukar untuk dilacak kembali untuk dimintai pertanggungjawabannya. Ini akan berbeda jika keluhan disampaikan melalui surat pembaca misalnya. Di satu sisi, media jugalah yang membantu kebebasan Prita. Melalui gencarnya berita di televisi , talkshow-talkshow, media massa seakan memobilisasi dukungan bagi Prita. Mobilisasi adalah kemampuan media massa yang kedua.

Last but not least, Ambalat. Topik hangat yang pernah muncul beberapa tahun yang lalu. Setelah sebelumnya media dengan gegap gempita memberitakan kehidupan Manohara dengan Sang Pangeran Kelantan, berita ketegangan antara Indonesia-Malaysia mengenai Ambalat bak memiliki benang merah yang berhubungan. Padahal jelas antara Ambalat dan Manohara memiliki kapasitas persoalan yang berbeda. Tapi media (lagi-lagi) dapat menjadikan keduanya dalam satu momentum. Membungkusnya dalam sebuah kemasan yang berjudul harga diri bangsa. Inilah kemampuan media massa yang terbesar dan sekaligus paling berbahaya yakni, membentuk opini publik.

Manohara, Prita dan Ambalat, ketiganya adalah peristiwa yang berbeda. Namun ketiganya digerakkan oleh kekuatan yang sama yakni, media massa. Yang membuat mereka terhubung satu sama lain dan dengan kehidupan kita, para penikmat media. Dan sebagai penikmat media seringkali kita tidak menyadari bahwa pikiran, pendapat bahkan sikap kita dipengaruhi oleh media. Media massa apapun bentuknya adalah teman kita dalam keseharian yang memiliki pengaruh teramat besar.